Industri Tekstil Tidak Mampu Bayar PHK Karyawan Akibat Barang Impor

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia atau APSyFI mencatat bahwa sejak tahun 2023 hingga saat ini, tujuh perusahaan tekstil di Indonesia telah gulung tikar. Bahkan, 28 pabrik tekstil lainnya telah menghentikan produksinya secara total. Ketua Umum APSyFI, Redma Wirawasta, mengungkapkan bahwa perusahaan yang menutup pabriknya masih beroperasi, namun dengan kapasitas produksi yang minim dan pengurangan jam kerja bagi para buruh.

Hal ini terjadi karena sebagian besar pengusaha tekstil tidak mampu membayar pesangon untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Sebagai solusi, para pengusaha tekstil kini mengurangi jam kerja atau hari kerja para buruh. Sebagai contoh, jika sebelumnya mereka bekerja enam hari dalam seminggu, kini hanya bekerja tiga hari dalam seminggu. Hal ini memungkinkan penyesuaian upah tenaga kerja sesuai dengan kondisi tersebut.

Redma juga mencatat bahwa meskipun ada lebih dari 18.000 orang yang telah di-PHK di industri tekstil, angka tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya, yaitu sekitar 250.000 orang. Ini dikarenakan angka PHK yang tercatat merupakan akhir dari langkah PHK yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan.

Sebagai contoh, PT Alenatex telah melakukan PHK terhadap 700 orang setelah sebelumnya telah melakukan PHK terhadap 3.000 tenaga kerja sepanjang tahun lalu. Meskipun demikian, tidak semua pabrik tekstil yang tutup dan menghentikan produksi memberikan data mengenai jumlah buruh yang di-PHK. Hanya PT Asia Pacific Fibers yang melaporkan PHK terhadap 2.500 buruh di pabriknya di Karawang.

Redma memproyeksikan bahwa sekitar 1,1 juta tenaga kerja di industri tekstil saat ini terkena PHK atau mengalami pengurangan tenaga kerja. Hal ini disebabkan oleh penurunan utilisasi industri tekstil dari 75% menjadi di bawah 50%. Penurunan ini terlihat dari turunnya volume impor kapas dan penghentian beberapa fasilitas produksi pengusaha kain.

Menurut Redma, masalah ini berakar pada maraknya barang impor di pasar domestik. Oleh karena itu, insentif terbaru yang diberikan pemerintah pada industri tekstil dinilai tidak efektif. Insentif tersebut berupa diskon bunga kredit modal kerja sebesar 5% dengan plafon Rp 500 juta sampai Rp 10 miliar.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menyalahkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024 sebagai penyebab utama rontoknya perusahaan tekstil. Dia menjelaskan bahwa 60 perusahaan tekstil telah melakukan PHK pada 13.061 karyawan tetap dan menghentikan perpanjangan kontrak pada 5.000 karyawan.

Immanuel menegaskan bahwa salah satu langkah mitigasi yang dilakukan adalah mendorong revisi Permendag No. 8 Tahun 2024. Dia mendapatkan masukan dari pengusaha dan pekerja tekstil bahwa aturan tersebut terlalu meringankan impor pakaian jadi.

Dari lima perusahaan tekstil yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, beberapa di antaranya telah menghentikan produksi atau melakukan PHK. POLY, misalnya, telah melakukan PHK terhadap 2.500 orang di pabriknya di Karawang. Mereka juga mengurangi tenaga kerja kontrak pada fasilitas produksi di Jawa Timur.

Permendag No. 8 Tahun 2024 sendiri merupakan aturan tentang kebijakan dan pengaturan impor. Aturan ini telah mengalami empat kali revisi sejak diterbitkan. Semoga dengan adanya langkah-langkah mitigasi yang dilakukan, industri tekstil di Indonesia dapat pulih kembali dan memberikan dampak positif bagi para pekerjanya.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *