Pelaku Usaha Tekstil Sesalkan Banyak Produk Ilegal Tanpa Label SNI
Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) menekan pemerintah untuk lebih serius dalam menegakkan kewajiban penggunaan label berbahasa Indonesia serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk pakaian jadi. Menurut Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, aturan ini sangat penting agar konsumen dapat memahami spesifikasi dan kualitas produk yang mereka beli serta merawatnya dengan baik. Ia mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25 Tahun 2021 yang mewajibkan semua produk pakaian dan kain yang beredar di pasaran untuk mencantumkan label berbahasa Indonesia.
“Kewajiban ini sebenarnya sudah berlaku sejak 2015, tetapi dalam 10 tahun terakhir hampir tidak ada upaya serius untuk menegakkannya,” ujar Ardiman dalam siaran pers yang diterima pada Sabtu (7/2). Berdasarkan pemantauan YKTI, hanya sekitar 30% produk yang mematuhi aturan tersebut di pasaran. Pelanggaran terbanyak ditemukan di platform perdagangan online, di mana sekitar 90% produk tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia. Sebagian besar produk menggunakan bahasa Inggris, sementara yang lain menampilkan karakter dari bahasa Tiongkok, Thailand, Korea, dan Jepang.
“Akibatnya, konsumen tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup tentang barang yang mereka beli,” tegas Ardiman. YKTI juga menyoroti lemahnya penegakan SNI wajib untuk pakaian bayi yang berkaitan langsung dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak. “Penegakan hukum terkait SNI pakaian bayi sangat minim. Bahkan, produk yang dijual secara online tanpa sertifikasi SNI tidak pernah ditindak,” tambahnya.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, juga setuju dengan pernyataan tersebut. Ia menyatakan bahwa kurangnya pengawasan dan kinerja buruk bea cukai menjadi penyebab utama maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Menurutnya, penegakan hukum di sektor ini sering kali tidak merata.
“Dalam hal regulasi label, SNI, hingga K3L, yang lebih ditekan justru produk dalam negeri karena lebih mudah dijangkau aparat. Sementara itu, distributor dan pedagang barang impor tidak pernah tersentuh hukum,” kata Nandi. Ketimpangan dalam penegakan hukum ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang menguntungkan bagi barang impor ilegal. “Produsen dalam negeri harus membayar pajak, sedangkan barang impor ilegal dijual tanpa pajak. Jelas bahwa mereka diuntungkan oleh aparat dan birokrasi kita sendiri,” ungkapnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, juga menilai ketidakseriusan pemerintah dalam menangani impor dan peredaran barang ilegal telah menyebabkan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merosot. Banyak pabrik yang tutup dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan akibat kondisi ini. APSyFI mendesak pemerintah, terutama kementerian dan lembaga di bawah koordinasi bidang perekonomian, untuk bertindak tegas dalam menangani masalah ini.
Salah satu usulan APSyFI adalah penerapan pengawasan border terhadap barang impor terkait aturan Label, SNI, dan K3L. Menurut mereka, jika hanya mengandalkan sistem post border, Kementerian Perdagangan akan kesulitan mengawasi produk yang sudah beredar di pasaran.